TEP UI Ungkap Dinamika Ekonomi, Ruang Hidup, Layanan Publik, dan Sosial-Budaya dalam FGD Warung Kopi Kawasan Transmigrasi Tinanggea

Ketgam. Tim Ekspedisi Patriot (TEP) Universitas Indonesia (UI) saat memaparkan kondisi wilayah eks Transmigrasi Tinanggea di Warkop Andoolo, Kabupaten Konawe Selatan, Provinsi Sulawesi Tenggara. Sabtu, 6 Desember 2025.
Dengarkan Berita

BIKASMEDIA.COM, KONAWE SELATAN – Tim Ekspedisi Patriot (TEP) Universitas Indonesia (UI) menggelar Focus Group Discussion (FGD) dengan konsep Diskusi Warung Kopi bersama kepala desa dan camat di Kawasan Transmigrasi Tinanggea. Forum ini menjadi ruang dialog akar rumput yang membahas isu lintas sektor secara mendalam, mulai dari ekonomi dan mata pencaharian, aksesibilitas dan infrastruktur dasar, penataan ruang dan lingkungan hidup, pelayanan publik dan pendidikan, hingga dinamika sosial-budaya yang terus membentuk kehidupan warga transmigran.

Melibatkan perwakilan desa dari 11 kecamatan di kawasan transmigrasi, FGD ini tidak hanya menjadi ajang pemaparan hasil temuan lapangan Tim Ekspedisi Patriot UI, tetapi juga wadah verifikasi dan pengayaan data langsung dari para pemangku wilayah. Masukan yang dihimpun menjadi bagian krusial dalam penyempurnaan rekomendasi kebijakan tim.

Diskusi yang menghadirkan 33 kepala desa dan enam perwakilan kecamatan ini berlangsung dinamis dan penuh partisipasi. Para peserta menyampaikan langsung kondisi riil di lapangan, terutama terkait sektor unggulan daerah yang secara umum masih bertumpu pada perkebunan dan pertanian sebagai tulang punggung ekonomi masyarakat.

Meskipun potensinya besar, persoalan aksesibilitas, khususnya infrastruktur jalan dan jembatan, masih menjadi hambatan utama dalam mendukung arus produksi dan distribusi.

“Alhamdulillah untuk padi kami tidak kurang, tapi rasanya sudah 42 tahun desa kami belum mendapatkan perhatian mengenai jalan poros. Untuk jembatan saja kami sendiri yang sering mengganti kayu jembatannya, hasil swadaya masyarakat,” ujar Dedi Kepala Desa Atari Jaya, Lalembuu di Warkop Andoolo pada Sabtu, (6/12/2025). Kondisi ini tidak hanya memperlambat mobilitas masyarakat, tetapi juga menahan percepatan ekonomi desa yang bergantung pada hasil perkebunan.

Keluhan serupa juga disampaikan oleh kepala desa lainnya. Mereka menilai bahwa tanpa perbaikan akses, potensi unggulan daerah sulit berkembang optimal. Adapun kelapa yang dibudidayakan di kawasan ini tidak hanya kelapa dalam, tetapi juga kelapa hibrida yang dari sisi produktivitas seharusnya mampu memberikan nilai tambah lebih tinggi.

Namun, karena sudah ditanam dari awal kedatangan transmigrasi ke sini, para petani merasa bahwa kelapa-kelapa tersebut mulai memerlukan peremajaan. Namun, mereka mengkhawatirkan ketiadaan bibit unggul kelapa hibrida jenis yang sama seperti dahulu.

“Kami sudah mencoba menanam buahnya langsung, tapi hasilnya tidak bagus, berbeda seperti induknya. Harapannya bisa ada bantuan bibit unggul, supaya ketika kami sudah menanam dan menunggu bertahun-tahun hasilnya tidak sia-sia,” jelas Gusti Putu, Kepala Desa Alengge Agung, Andoolo.

Perwakilan dari desa lain juga menyoroti bahwa persoalan yang dihadapi petani tidak berhenti pada ketersediaan bibit saja. Mereka menjelaskan bahwa pupuk, dan pestisida yang kerap sulit diperoleh atau harganya tidak stabil.

Kondisi ini membuat petani kesulitan merawat tanaman secara optimal, terutama pada masa-masa kritis ketika hama dan penyakit tanaman meningkat. Ketersediaan sarana produksi pertanian dinilai sangat menentukan produktivitas, namun hingga kini belum ada pola distribusi yang konsisten dan terjangkau.

Suparjo, Kepala Desa Mata Iwoi, Andoolo Barat menyebutkan, “Subsidi pupuk itu hanya untuk pertanian, padahal di sini masyarakat justru lebih banyak ada di perkebunan.” Harapan ini dituturkan agar bisa disampaikan ke dinas terkait agar dapat juga memberikan bantuan pupuk untuk perkebunan. “Kadang ada juga pupuk bantuan datang, tetapi turunnya tidak tepat waktu. Bagaimana kami bisa memanfaatkannya jika pupuk datang pada saat kami tidak sedang menanam?” sambungnya.

Pernyataan tersebut mencerminkan kendala yang banyak dialami desa-desa berbasis perkebunan, di mana pola penyaluran bantuan sering kali tidak selaras dengan kalender tanam maupun kebutuhan komoditas lokal.

Para peserta berharap ada kebijakan bantuan yang lebih adaptif terhadap karakteristik wilayah, sehingga dukungan dapat benar-benar efektif meningkatkan hasil dan produktivitas petani.

Selain bantuan pupuk, isu lainnya hadir terkait ketidaksesuaian data bantuan pemerintah, terutama Bantuan Langsung Tunai (BLT) dan program sosial lainnya. Para kepala desa menyampaikan bahwa meskipun mereka telah memperbarui data warga secara berkala, termasuk memasukkan keluarga baru yang berhak menerima bantuan serta menonaktifkan penerima yang sudah tidak memenuhi kriteria, data yang digunakan pada saat pencairan bantuan justru kembali mengacu pada data lama.

Hal itu mengakibatkan penyaluran tidak tepat sasaran dan berpotensi menimbulkan ketegangan sosial di tingkat desa.

Para peserta menekankan perlunya sinkronisasi sistem antara pemerintah desa dan instansi penyalur bantuan, agar pembaruan data benar-benar diintegrasikan dan tidak sekadar menjadi administrasi di tingkat desa.

Mereka berharap adanya mekanisme yang lebih transparan dan terkoordinasi, sehingga program pemerintah dapat menjangkau warga yang benar-benar membutuhkan. Menurut para kepala desa, perbaikan sistem pendataan ini akan membantu mengurangi potensi konflik, meningkatkan kepercayaan masyarakat, serta memastikan manfaat bantuan sosial dapat dirasakan secara merata dan adil.

Selain persoalan pupuk dan bantuan pemerintah, beberapa kepala desa turut menyoroti isu lingkungan yang kian mendesak. Mereka melaporkan berkurangnya sumber air bersih di sejumlah desa, yang diduga berkaitan dengan aktivitas tambang di wilayah sekitar.

“Secara administrasi memang bukan di wilayah kami, tetapi secara geografis berbatasan langsung. Tetapi, meskipun berada dalam radius ring 1, kami belum pernah menerima dukungan dari perusahaan,” ungkap Rokiman, Kepala Desa Wonua Raya.

Melalui forum ini, seluruh aspirasi dan temuan lapangan dihimpun secara sistematis untuk memperkaya pemetaan isu dan kebutuhan prioritas kawasan transmigrasi.

Diskusi ini tidak hanya menjadi ruang berbagi pengalaman, tetapi juga wadah penting untuk merumuskan rekomendasi strategis yang dapat memperkuat arah kebijakan pembangunan.

Para peserta berharap hasil diskusi ini dapat menjadi perhatian serius bagi pemerintah daerah dan pemangku kepentingan terkait, sehingga potensi besar Konawe Selatan dapat terus berkembang sejalan dengan peningkatan infrastruktur dasar, ketersediaan sarana produksi, serta dukungan berkelanjutan bagi kesejahteraan masyarakat transmigran.

Penulis: Lulu Il AsshafaEditor: Redaksi
error: Content is protected !!