BIKASMEDIA.COM, KONAWE SELATAN – Peringatan Hari Bhakti Transmigrasi (HBT) 12 Desember 2024–2025 kembali menjadi momentum refleksi nasional atas peran transmigran dalam membuka peradaban baru di berbagai pelosok Indonesia. Di Konawe Selatan, kenangan itu hidup kuat dalam cerita Supyan Hadi, S.Sos.I, putra transmigran yang ditempatkan pemerintah pada tahun 1980 di Desa Alengge Agung (KB3).
Supyan menegaskan bahwa transmigrasi bukan sekadar program pemindahan penduduk, tetapi gerakan peradaban yang membangun pusat ekonomi baru, mengisi ruang kosong wilayah, sekaligus melahirkan generasi penerus yang kini berkontribusi besar pada daerah.
“Kami adalah bukti bahwa transmigrasi berhasil. Orang tua kami datang ke tanah kosong, hutan belantara, hanya dengan tekad dan keyakinan. Dari situlah berdiri desa, kecamatan, dan kesempatan hidup bagi generasi berikutnya,” kenang Supyan.
Tanggal 12 Desember 1950 menjadi awal sejarah transmigrasi nasional pasca-kemerdekaan, ketika pemerintah RI memberangkatkan kami ke Sulawesi Tenggara. Momentum ini menandai berdirinya program transmigrasi Indonesia yang sepenuhnya dikelola oleh pemerintah republik, bukan lagi warisan kolonial.
Dimulai dari Politik Etis Belanda, membawa penduduk dari Lombok ke Sultra untuk mengurangi kepadatan Jawa dan memenuhi tenaga kerja perkebunan.
Mohammad Hatta menegaskan transmigrasi sebagai “masalah hidup dan mati bangsa”, dan 12 Desember 1950 menjadi sejarah resminya.
Transmigrasi menjadi proyek raksasa pembangunan nasional. Jutaan kepala keluarga dipindahkan ke Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, hingga Papua. Banyak kawasan transmigrasi berkembang menjadi lumbung pangan baru dan pusat ekonomi.
Pendekatan transmigrasi menjadi desentralistik, menekankan kualitas manusia, kemandirian kawasan, dan penyelesaian legalitas lahan. Pada 2024, Presiden Prabowo membentuk kembali Kementerian Transmigrasi dengan fokus revitalisasi kawasan dan swasembada pangan.
Secara nasional, transmigrasi dirancang untuk:
Pemerataan persebaran penduduk, Pemerataan pembangunan regional, Pengentasan kemiskinan dan peningkatan kesejahteraan, Optimalisasi sumber daya alam, Penguatan integrasi nasional
“Di KB3Alengge Agung dan Ataku, kami menyaksikan bagaimana lahan kosong berubah menjadi kampung produktif. Masyarakat hidup berdampingan, saling menghargai budaya, dan perlahan membangun ekonomi yang kokoh,” ujarnya.
Dampak Besar Transmigrasi: Desa Baru, Kota Baru, Harapan Baru Hingga kini, transmigrasi telah melahirkan:
Ribuan desa baru. ratusan kecamatan, puluhan kota dan kabupaten bahkan ibu kota provinsi seperti Mamuju dan Tanjung Selor berawal dari kawasan transmigrasi.
Di Sulawesi Tenggara, banyak kawasan pertanian dan permukiman modern tumbuh dari jejak perjuangan para transmigran sejak 1970–1990.
“Kami dulu hidup dari kayu dan tanah . Sekarang, anak-anak transmigran menjadi ASN, guru, tokoh masyarakat, pengusaha, bahkan pejabat publik. Ini bukti nyata keberhasilan transmigrasi,” kata Supyan Hadi.
Meski membawa dampak besar, sejarah transmigrasi juga mencatat sejumlah tantangan: Deforestasi akibat pembukaan lahan di masa lalu, gesekan sosial antara pendatang dan masyarakat lokal, sertifikasi tanah yang belum tuntas di beberapa kawasan, tragedi kemanusiaan seperti Kali Sewo, 11 Maret 1974, yang menewaskan puluhan calon transmigran
“Setiap kebijakan besar selalu punya risiko. Yang penting adalah bagaimana pemerintah hari ini memperbaiki sistem, menyelesaikan legalitas lahan, dan meningkatkan kualitas kawasan transmigrasi,” tegasnya.
HBT bukan sekadar sejarah, tetapi warisan semangat perintis.
“Orang tua kami adalah pahlawan pembangunan. Mereka meninggalkan kampung halaman demi masa depan anak-anaknya. Semangat ini harus ditiru generasi muda: berani memulai dari titik nol,” ungkap Supyan.
Ia menilai keberagaman yang lahir di kawasan transmigrasi adalah cerminan Indonesia yang sesungguhnya plural, toleran, dan saling menguatkan.
Transmigrasi Masa Depan: Modern, Produktif, dan Berdaya Saing
Dalam kebijakan terbaru: Kawasan transmigrasi dipersiapkan sebagai sentra pangan nasional
Model Transpolitan mengintegrasikan pertanian modern, digitalisasi, dan industri turunan
Fokus diarahkan pada revitalisasi, bukan penempatan massal
Penyelesaian sertifikasi tanah menjadi prioritas
Supyan menyambut baik arah baru ini.
“Transmigrasi bukan hanya sejarah. Ia adalah masa depan ketahanan pangan Indonesia. Generasi kedua seperti kami siap mendukung,” tutupnya.
Peringatan Hari Bhakti Transmigrasi setiap 12 Desember bukan hanya mengenang pemberangkatan perdana 1950, tetapi juga menghormati para pionir yang membangun Indonesia dari pinggiran negeri.
Dari desa-desa kecil hingga pusat pemerintahan provinsi, transmigrasi telah mengubah peta demografi, ekonomi, dan sosial bangsa.
Dan bagi Supyan Hadi putra transmigrasi Alengge Agung—sejarah ini tidak pernah usang.
“Kami adalah anak-anak transmigrasi. Dari hutan menjadi kampung, dari kampung menjadi harapan. Inilah bagian terbaik dari cerita Indonesia.”









