LIRA Sultra Soroti Dugaan Pungutan Liar HUT SMAN 4 Kendari

Dengarkan Berita

BIKASMEDIA.COM, KENDARI — Rencana perayaan Hari Ulang Tahun ke-50 (HUT Emas) SMA Negeri 4 Kendari menuai perhatian publik setelah beredarnya proposal bernomor 001/Panpel HUT-SMAN4/XI/2025 yang ditujukan kepada orang tua siswa. Proposal tersebut berisi rincian pungutan yang totalnya mencapai sekitar Rp 250.000 per orang tua, terdiri dari kas kegiatan Rp 100.000, pakaian jalan santai Rp 100.000, dan kebutuhan snack Rp 1.200.000 yang dibebankan secara kolektif per kelas. Dan jika di total jumlah keseluruhan yang dibutuhkan adalah Rp.499.975.000

Dalam proposal itu juga tercantum kalimat: “Bagi orang tua yang berkenan dan memiliki rezeki dapat menyetorkan lebih.”
Kalimat yang tampak sopan, namun bagi sebagian orang tua justru dianggap mengandung tekanan moral.

Kondisi ini kemudian mendapat sorotan tajam dari pengurus LSM Lumbung Informasi Rakyat (LIRA) Sulawesi Tenggara, yang menilai bahwa dugaan pungutan semacam itu tidak peka terhadap situasi ekonomi masyarakat.

Pengurus LSM LIRA Sultra, Soni Septyawan, menilai bahwa perayaan ulang tahun sekolah bukanlah kegiatan prioritas apabila berdampak pada pembebanan biaya kepada orang tua siswa.

“Kami memahami HUT sekolah adalah momentum penting. Tapi ketika perayaan justru membebani ekonomi orang tua, ini keliru dan mengaburkan esensi pendidikan. Sekolah seharusnya menjadi ruang empati, bukan ruang komersialisasi,” tegas Soni.
Ia menambahkan bahwa pungutan apa pun di sekolah negeri harus sangat memperhatikan kondisi sosial ekonomi masyarakat.

“Bagi sebagian keluarga, Rp 250 ribu bukan angka kecil. Ini bisa jadi uang belanja satu minggu. Mengapa sekolah tidak memilih konsep perayaan yang lebih sederhana dan manusiawi?” katanya.

LSM LIRA juga mempertanyakan urgensi perayaan ulang tahun sekolah di tengah berbagai persoalan pendidikan.

“Ketika kualitas literasi masih rendah, fasilitas belajar belum maksimal, dan anggaran daerah sedang efisiensi, justru kegiatan seremonial yang diutamakan. Ini kontradiktif,” tambah Soni.

Salah satu orang tua siswa yang meminta identitasnya tidak dipublikasikan mengaku keberatan dengan konsep sumbangan tersebut.

“Kalimat ‘bagi yang berkenan menyumbang lebih’ itu membuat kami serba salah. Kami ingin mendukung kegiatan sekolah, tapi kondisi ekonomi memang sulit. Rasanya seperti dipaksa halus,” ujarnya.

Ia menambahkan bahwa kegiatan seperti ini terkesan tidak mempertimbangkan kondisi seluruh orang tua.

“Bukan semua siswa berasal dari keluarga yang mampu. Kalau kegiatan sekolah jadi beban, bagaimana kami mau bicara?” tuturnya.

Dalam proposal, panitia HUT ke-50 SMAN 4 Kendari menjelaskan bahwa kegiatan digelar untuk mempererat silaturahmi, mengasah kreativitas siswa, dan meningkatkan kebersamaan antarwarga sekolah, orang tua, alumni, hingga pemerintah dan swasta.

Namun semangat itu dianggap tidak sejalan dengan keputusan pungutan yang justru membuka celah ketidakadilan.

LSM LIRA menilai bahwa sekolah dapat merayakan ulang tahun tanpa membebani orang tua, misalnya dengan: Lomba kreatif tanpa pungutan, memanfaatkan fasilitas sekolah yang sudah ada, kerja bakti dan penanaman pohon, pameran karya siswa, bantuan sponsorship tanpa melibatkan pungutan wajib

“Sederhana tidak berarti kehilangan makna. Justru kesederhanaan yang menunjukkan empati adalah pendidikan karakter yang sesungguhnya,” kata Soni.

LSM LIRA mendesak pihak sekolah dan komite untuk membuka ruang dialog serta melakukan kajian ulang terhadap pungutan tersebut.

“Sekolah harus transparan soal anggaran, membuka ruang diskusi dengan orang tua, dan menyediakan opsi tanpa kewajiban bagi yang tidak mampu. Jangan sampai kepercayaan publik hilang karena pendanaan seremonial,” tegas Soni.

Ia menekankan bahwa persoalan ini bukan untuk menciptakan konflik, melainkan memastikan bahwa pendidikan berdiri di atas nilai keadilan dan empati.

“Perayaan ulang tahun bisa ditunda. Tapi kepercayaan orang tua, kalau hilang, sangat sulit dikembalikan,” tegasnya.

Soni juga mengatakan, kasus proposal HUT ke-50 SMAN 4 Kendari ini menjadi cermin penting bahwa setiap lembaga pendidikan perlu lebih sensitif terhadap realitas sosial masyarakat. Ketika sekolah mulai berjarak dari empati, maka pendidikan kehilangan jati dirinya.

“Perayaan ulang tahun sekolah semestinya menjadi ruang sukacita, bukan sumber tekanan bagi orang tua yang tengah berjuang bertahan secara ekonomi”. tutupnya

Penulis: PyanEditor: Editor
error: Content is protected !!