BIKASMEDIA.COM, KENDARI – Tangis duka menyelimuti keluarga Dedi Wahyudin, seorang sopir angkutan umum berusia 54 tahun asal Konawe, yang menghembuskan napas terakhirnya pada Senin pagi, 5 Mei 2025. Ia bukan hanya pergi sebagai korban kekejaman, tapi juga sebagai simbol kebaikan yang tak sempat diselamatkan.
Dedi meninggal dunia setelah tiga hari berjuang melawan rasa sakit dari luka tusukan di dada dan perutnya. Luka itu bukan akibat kecelakaan atau ulahnya sendiri—melainkan hasil dari pengkhianatan atas kebaikan yang ia berikan.
Tragedi bermula pada Jumat malam, 2 Mei 2025, atau menjelang subuh 3 Mei, di kawasan Terminal Baruga, Kendari. Seperti biasa, Dedi mangkal di sana, menunggu penumpang untuk rute Kendari–Bombana.
Malam itu, ia melihat seorang pria asing duduk sendiri, tampak lapar dan kelelahan. Dedi, yang dikenal baik dan dermawan, menghampirinya. Ia belikan makanan, minuman, bahkan rokok, dan mengajak pria itu beristirahat di dalam mobilnya agar terhindar dari gigitan nyamuk.
Namun niat baik itu dibalas dengan pengkhianatan. Saat Dedi tertidur, pria tersebut menghantam kepalanya dengan batu besar dua kali. Dedi sempat sadar, berusaha melawan, tapi pria itu mencabut badik dan menikam dada serta perutnya empat kali.
Luka juga terdapat di tangan, bekas usaha Dedi menepis serangan.
Dalam keadaan nyaris tak sadarkan diri, bersimbah darah, Dedi masih mampu menyeret tubuhnya dan mengendarai mobilnya ke Polsek Baruga untuk meminta pertolongan dan melaporkan masalahnya. Ia kemudian berupaya keras ke RSUD Bahteramas Kendari.
Di sana, Dedi butuh operasi secepatnya. Tapi biaya sebesar kurang lebih dari Rp20 juta menjadi tembok penghalang. KIS yang dimilikinya tidak menanggung karena kasus tersebut dikategorikan sebagai kriminal.
“Saya cuma ingin sembuh. Anak-anak saya masih sekolah. Saya tidak punya penghasilan lain,” ucap Dedi dalam kondisi lemah, beberapa saat sebelum ia meninggal, dengan mata berkaca-kaca menahan nyeri.
Ia adalah seorang ayah dari tiga anak yang menggantungkan hidup dari menarik angkot. Sosok sederhana yang tak pernah meminta lebih, hanya ingin hidup dengan layak, jujur, dan membantu orang lain sebisanya. Tapi sistem tak berpihak padanya.
Pihak keluarga sempat berharap ada bantuan dari pemerintah atau uluran tangan masyarakat. Namun waktu tak menunggu. Senin pagi, Dedi mengembuskan napas terakhir, membawa serta luka, kebaikan, dan harapan yang tak sempat terwujud.
Polisi saat ini masih memburu pelaku yang kabur usai melakukan penyerangan. Ciri-ciri pelaku telah dikantongi, dan upaya pengejaran terus dilakukan.
Dedi pergi sebagai korban. Tapi lebih dari itu, ia pergi sebagai pahlawan kecil yang membawa pesan besar bahwa di negeri ini, kadang kebaikan pun bisa tumbang hanya karena uang dan birokrasi. Dan meski raganya telah tiada, semangatnya semestinya menyentuh nurani kita semua.